Sebenarnya saya agak kesulitan ketika nulis kisah ini.
Saya belum siap mengutarakan statement bahwa Jenggo telah hilang. Hingga saya
menuliskan ini, saya masih berharap Jenggo pulang ke rumah ini lagi.
Jenggo alias Nggo adalah kucing kesayangan keluarga kami.
Kami mendapatkannya karena dikasih oleh tetangga kami. Kebetulan suami dan
Asllan yang menerimanya. Saat itu tanggal 21 Maret 2016. Pulang kerja, saya
kaget karena disambut oleh suara “meong” seekor kucing kecil. Tapi seneng juga,
ketika tau bahwa kucing itu adalah pemberian tetangga. Kami beri nama Jenggo.
Saat kami terima, Jenggo berusia kurang lebih satu
setengah bulan. Dia datang dengan tubuh kurus dan telinga sebelah kanan kotor
berisi pasir. Kami bersihkan perlahan. Kami memberinya makanan berupa ayam
rebus, ikan pindang dan nasi.
Selang seminggu Jenggo mulai mencret, lemas dan
sempoyongan ketika jalan. Waduh! Paniklah kami. Pulang kerja saya dan suami
segera membawa Jenggo ke drh Lailatun. Disana Jenggo diperiksa dan diberi obat.
Tiga hari kemudian, Jenggo sudah sehat seperti sedia kala.
Perlahan kami alihkan dia dengan makanan dryfood (DF). Awalnya Jenggo menghindar
dan lebih memilih tidak makan. Tapi memasuki hari ketiga dia mulai makan DF-nya
hingga dia mulai terbiasa dengan makan DF.
Jenggo adalah kucing yang baik dan setia. Seminggu sebelum
saya mendapat undangan pelantikan di Malang, Jenggo tiba-tiba menjilati ibu
jari kaki kanan saya. Ketika saya harus berangkat dan mulai pindah kerja di
Malang, Jenggolah penghibur Asllan dan Ayah di Madiun.
Jenggo selalu BAK dan BAB di pasir yang telah kami
sediakan. Dia sering mengajak mainan Asllan dan Ayah. Bahkan ketika Asllan
tiba-tiba menangis keras dalam tidurnya, Jenggo datang tergopoh-gopoh dan mengelilingi
Asllan sambil mengeong. Seakan dia memberitahu saya bahwa Asllan menangis.
Kejadian itu tidak hanya terjadi sekali saja tapi selalu terjadi ketika Asllan
menangis.
Satu minggu sebelum hari lebaran tahun 2016, kami
kedatangan seekor kucing betina berwarna calico seumuran Jenggo. Sepertinya
Jenggo senang mendapat teman. Kucing itu diajaknya bermain dan makan
bersama-sama. Ketika saya memberi makan untuk Jenggo, dia malah terdiam. Dan
mempersilakan kucing betina itu untuk makan terlebih dahulu. Ketika temannya
telah selesai makan barulah Jenggo makan
sisa temannya itu.
Tibalah saat lebaran tahun 2016. Kami menitipkan Jenggo di
klinik hewan karena kami mudik ke Jogja. Namun teman Jenggo tidak ikut
dititipkan karena kami tidak tahu pasti siapa pemiliknya. Pulang dari mudik
tahun 2016 kami mengambil Jenggo. Dia terlihat senang dan kangen dengan kami.
Seminggu di penitipan Jenggo terlihat tambah gemuk karena selalu masuk kandang
dan jarang bermain. Sampai di rumah ternyata dia mencari temannya itu. Dia
mengeong kesana kemari, gelisah dari pintu depan ke pintu belakang. Akhirnya
saya bisikkan ke telinganya bahwa temannya sudah pulang ke rumahnya. Baru
setelah itu dia terdiam.
Melihat itu, saya merasa kasihan. Sepertinya dia butuh
teman. Dan tak lama kemudian suami menemukan seekor anak kucing yang terkena
lem. Suami membawanya pulang dan merawatnya. Kami beri nama Loreng (yang
nantinya berubah nama menjadi Toteng).
Jenggo terlihat senang dengan keberadaan loreng. Dia
sering mengajak Loreng bermain bersama. Hingga akhirnya tibalah saat Jenggo
birahi. Dia selalu dikejar kucing mix milik Pak Agung. Selain itu kucing liar
berwarna hitam juga sering menunggu Jenggo keluar rumah. Cieee...apa mungkin
Jenggo menjadi primadona di mata kucing-kucing itu, ya?
Saya mulai khawatir apabila Jenggo hamil. Saya ingin
mensterilkan Jenggo namun dilarang oleh suami. Dengan alasan ingin Jenggo
melewati kodratnya sebagai kucing betina untuk hamil dan melahirkan. Benar
saja, pada tanggal 8 Oktober 2016 Jenggo melahirkan tiga ekor anaknya. Tempat
yang dipilihnya untuk melahirkan adalah kardus di Gudang.
Proses itu terjadi di Hari Sabtu. Saya, Asllan dan Ayah
akan berangkat jalan-jalan. Jenggo terlihat gelisah hilir mudik mengelilingi
kami. Saya bisikkan ke telinganya “kalo mau lahiran, lahiran aja. Jenggo kucing
yang pintar. Nanti kami pulang sudah bisa lihat anak-anakmu.”
Benar saja. Ketika kami pulang dan sampai di rumah, Jenggo
mengeong-ngeong seolah-olah mengajak kami untuk mengikutinya. Dan ternyata di
wilayah anus dan pantatnya masih terlihat berdarah. Jenggo sudah melahirkan!
Jenggo mengggiring kami ke gudang. Lantas dia meloncat
masuk ke kardus bekas almari es. Di sana telah lahir tiga ekor anak Jenggo yang
sudah bersih. Kami beri nama Ganang, Telon dan Slewah. Hem, meski belum cukup
umur tapi Jenggo adalah kucing yang pintar. Melahirkan sendiri tanpa dibantu
siapapun dan anak-anaknya telah bersih.
Ketika mama datang ke Madiun, Jenggo juga berlaku sama.
Dia menggiring mama ke gudang untuk menunjukkan anak-anaknya.
Jenggo bisa merawat anak-anaknya dengan baik. Dia susui
anak-anaknya secara bergiliran. Dia terlihat sayang dengan anak-anaknya. Hingga
akhirnya tiba saat Jenggo mulai birahi lagi. Karena ketakutan akan hamil lagi,
akhirnya saya putuskan untuk mensteril Jenggo.
Steril dilakukan di drh Syaiful daerah Jiwan. Hanya
berlangsung satu hari saja. Dan Jenggo bisa dibawa pulang meski harus dengan
perawatan ekstra karena masih menyusui. Benar saja, selang tiga hari setelah
steril, benang jahitan Jenggo lepas karena ditarik Telon ketika menyusu. Dan
Jenggo hanya diam saja dengan wajah pucat menahan sakit. Terpaksa kami
mengundang dokter Syaiful.
Alhamdulillah, tidak perlu dijahit ulang hanya harus lebih
rutin mengganti perban dan memberi betadin. Suami dan Asllan sudah mengikhlaskan
jika Jenggo mati karena lepasnya benang operasi. Namun saya belum ikhlas karena
saya tahu Jenggo kucing yang kuat.
Benar dugaan saya. Tak lama kemudian Jenggo sembuh total.
Dan dia sudah bisa berburu lagi. Seringkali dia pulang membawa cicak dan memanggil
anak-anaknya yang sudah mulai bisa makan. Dan ketika anak-anaknya datang,
Jenggo hanya melihat dari pinggir. Dia biarkan anak-anaknya bermain atau makan
apa yang dia bawa.
Selepas kematian ketiga anaknya, Jenggo terlihat semakin
sayang dengan Crimy, Blek, dan Loreng. Dia melakukan hal yang sama ketika
anak-anaknya masih hidup. Dia bawa pulang hasil buruannya. Dia memanggil
adik-adiknya dan hanya melihat dari pinggir. Jenggo akan makan setelah
adik-adiknya kenyang.
Kelebihan Jenggo yang lain adalah dia bisa membuka pintu
ruang tamu baik dari dalam maupun luar. Jadi ketika terdengar suara pintu
berusaha dibuka, munculah Jenggo masuk rumah atau keluar rumah.
Pada saat mudik Idul Adha tahun 2017 kami tidak menitipkan
kucing-kucing kesayangan ke petshop karena jumlahnya sudah tujuh ekor. Sebagai
gantinya saya minta tolong kepada penjaga kantor untuk memberi makan sekaligus
menjaga rumah kami. Alhamdulillah semua berjalan lancar hingga kami kembali
pulang ke Madiun.
Hingga suatu hari, Jenggo pulang membawa burung perkutut
yang masih hidup. Burung itu tidak dimakannya hanya digeletakkan di depan
dapur. Burung tersebut dirawat oleh suami. Dan seminggu kemudian turun SK
promosi untuk saya. Dua kali sudah Jenggo membawa sinyal untuk perubahan. Entah
hanya kebetulan atau memang itu pertanda dari Jenggo.
Satu minggu sebelum kami mudik ke Jogja, Jenggo pulang ke
rumah tanpa kalungnya. Memang kalungnya sudah tidak bagus lagi. Tapi sayangnya
saya belum sempat membuatkan yang baru.
Hingga tiba saatnya kami untuk mudik di Hari Raya Idul
Fitri tahun 2017. Seperti biasa, kami minta tolong kepada penjaga kantor untuk
menjaga Jenggo dan Loreng. Dan kami tiba kembali di Madiun pada tanggal 30 Juni
2017.
Cerita sedih dimulai dari sini. Sejak kami kembali ke
Madiun, Jenggo tidak pernah terlihat sama sekali. Hanya Loreng yang masih ada
di rumah. Kami menganggap Jenggo masih bermain di luar. Hingga kami minta
informasi dari tetangga samping rumah dan penjaga kantor. Mereka mengaku masih melihat Jenggo
malam hari sebelum kami sampai di Madiun.
Sedikit perasaan tidak enak menghinggapi saya. Harapan
saya adalah nanti malam atau besok pagi Jenggo akan pulang karena lapar. Dan
memang kebiasaan Jenggo akan pulang tiap subuh dan langsung minta makan.
Hari kedua kami di Madiun namun Jenggo tak kunjung datang.
Akhirnya saya dan suami keliling komplek rumah dan belakang rumah mencarinya.
Namun Jenggo tak kunjung terlihat. Agak aneh bagi saya, karena jika Jenggo
mendengar suara suami memanggilnya, dia akan berlari pulang. Tapi ini sama
sekali tidak terlihat batang hidungnya.
Saya semakin sedih, dan meminta suami untuk mencari di
Pasar Joyo (Pasar hewan), siapa tahu ada yang jahat dan menjual Jenggo. Selama
dua hari berturut-turut kami berkeliling namun hasilnya nihil. Sampai saat
inipun kami tidak tahu di mana keberadaan Jenggo. Masih hidup atau sudah mati.
Malah kami mendengar kabar kucing jantan mix milik Pak Agung juga hilang.
Dimanakah kamu, Nggo?
Pulanglah, Nggo...
Ayah, Bunda dan Kak Asllan
kangen sama kamu...
Sudah lima bulan kamu pergi, bagaimana
kondisimu?
Sehat-sehat ya, Nggo...
Pulanglah...kami menunggumu...